Senin, 27 Juni 2011

Pengaruh Televisi pada Pendidikan Anak

Ada hal yang sangat menggelisahkan saat menyaksikan tayangan-tayangan televisi. Hampir semua stasiun televisi, banyak menayangkan program acara (terutama sinetron) yang mengandung unsur kekerasan (sadisme), pornografi, mistik, dan kemewahan (hedonisme). Tayangan-tayangan tersebut terus berlomba demi rating tanpa memperhatikan dampak bagi pemirsanya. Kegelisahan itu semakin bertambah karena tayangan-tayangan tersebut dengan mudah bisa dikonsumsi oleh anak-anak.

Yayasan Kesejahteraan Indonesia mencatat bahwa rata-rata anak usia sekolah dasar menonton televisi antara 30 sampai 35 jam setiap minggu. Artinya, pada hari-hari biasa, mereka menonton tayangan televisi lebih dari 4 hingga 5 jam dalam sehari. Sementara itu di hari Minggu bisa mencapai 7 hingga 8 jam. Jika rata-rata menonton televisi 4 jam dalam sehari, berarti setahun sekitar 1.400 jam atau 1.800 jam, sampai seorang anak lulus SLTA. Padahal waktu yang dilewatkan anak-anak mulai dari TK sampai SLTA hanya 13.000 jam. Hal ini berarti anak-anak meluangkan lebih banyak waktu untuk menonton televisi dari pada ntuk kegiatan apapun, kecuali tidur (Pikiran Rakyat, 29 April 2004).

Hal yang lebih mengkhawatirkan lagi, kebanyakan orang tua tidak sadar dengan kebebasan media yang kurang baik terhadap anak-anak. Anak-anak tidak diawasi dengan baik saat menonton televisi. Dengan kondisi ini, sangat dikhawatirkan dampaknya bagi perkembangan anak-anak. Kita tidak bisa gegabah dengan menyamaratakan semua program televisi yang mempunyai sisi baik, misalnya, program pendidikan. Banyak informasi yang bisa diserap dari televisi, yang tidak didapatkan dari tempat lain. Akan tetapi disisi lain, banyak tayangan telavisi yang berdampak buruk pada anak. Banyak survey yang dilakukan untuk mengetahui dampak tayangan televisi bagi anak-anak. Sebuah survey yang pernah dilakukan harian Los Angles Times membuktikan 4 dari 5 orang Amerika menganggap kekerasan di televisi mirip dengan dunia nyata. Oleh sebab itu, anak-anak yang sering menonton tayangan TV yang mengandung unsur kekerasan adalah sangat berbahaya. Kekerasan di TV membuat anak menganggap kekerasan adalah jalan untuk menyelesaikan masalah.

Sementara itu, sebuah penelitian di Texas, Amerika Serikat, yang dilakukan selama lebih dari tiga tahun terhadap 200 anak berusia 2-7 tahun menemukan bahwa anak-anak yang banyak menonton program hiburan dan kartun memperoleh nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang sedikit saja menghabiskan waktunya untuk menonton tayangan yang sama (Kompas Cyber Media, 11 Agustus 2005). Dua survey itu sebenarnya bisa menjadi pelajaran.

Namun, di Indonesia tayangan kekerasan dan kriminal, seperti Patroli, Buser, TKP, dan sebagainya, dengan mudah ditonton oleh anak-anak. Demikian pula, tayangan yang berbau pornografi dan pornoaksi, juga mudah ditonton oleh anak-anak. Persoalan gaya hidup dan kemewahan juga patut dikritisi. Banyak sinetron yang menampilkan kehidupan yang serba glamour. Tanpa bekerja orang bisa hidup mewah. Anak-anak sekolah dengan dandanan yang "anah-aneh" tidak mencerminkan sebagai seorang pelajar justru dipajang sebagai pemikat. Sikap terhadap guru, orang tua, maupun sesama teman juga sangat tidak mendidik.

Anak-anak sekolah dikhawatirkan meniru gaya, sikap, serta apa yang mereka lihat di sinetron yang berlimpah kemewahan itu.Memang televisi bisa berdampak kurang baik bagi anak, tetapi melarang anak menonton televisi sama sekali juga kurang baik. Hal yang lebih bijaksana adalah mengontrol tayangan televisi bagi anak-anak. Setidaknya, orang tua memberikan pemahaman kepada anak, mana yang bisa mereka tonton dan mana yang tidak boleh. Orang tua perlu mendampingi anak-anaknya saat menonton televisi serta memberikan berbagai pemahaman kepada anak-anak tentang sesuatu tayangan yang sedang disaksikan. Membangun komunikasi dengan anak, bisa mengurangi dampak negatif televisi pada anak.Kebiasan mengonsumsi telebvisi secara sehat ini harus dimulai sejak dini.

Tempat pendidikan paling utama adalah di keluarga, di mana orang tua adalah orang yang paling bertanggung jawab. Mengapa orang tua?. Hal ini karena orang tua bisa mengawasi anaknya lebih lama. Orang tua paling dekat dengan anaknya. Dalam keluargalah, anak tumbuh dan berkembang. Membiarkan anak menonton televisi secara berlebihan, berarti membiarkan tumbuh kembang dan pendidikan anak terganggu. Orang tua juga berkewajiban untuk memantau kegiatan belajar anak di rumah. Perkembangan si anak tidak bisa terlalu dibebankan pada sekolah.

Dalam kesehariannya, guru di sekolah tidak akan bisa menggantikan peran orang tua. Oleh karena itu, menjadi suatu keharusan bagi orang tua untuk tetap memperhatikan si anak selama berada di rumah.

Wassalam, Good Luck.      
 

Penggunaan Cognitive Behavior Therapy untuk Mengendalikan Kebiasaan Merokok di Kalangan Siswa melalui Peningkatan Perceived Self Efficacy Berhenti Merokok

Abstrak: Tujuan penelitian ini untuk menganalisis efektivitas penggunaan cognitive behavior therapy (terapi perilaku kognitif untuk meningkatkan perceived self efficacy (PSE) berhenti merokok di kalangan siswa SLTP? Penelitian ini menggunakan rancangan non randomized control group pretest and posttest design. Hasilnya menunjukkan bahwa: (1) pendekatan cognitive behavior therapy efektif meningkatkan sumber perceived self eficacy (SPSE) berhenti merokok persuasive experience, vicarious experience, enactive experience), (2) pendekatan cognitive behavior therapy efektif meningkatkan indikator perceived self efficacy (IPSE) berhenti merokok (choice behavior, performance, persistence), (3) model analisis hubungan antara SPSE dengan IPSE diperoleh koefisien gamma = 0,86, t = 2,84 (P < 0.05), berarti SPSE memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan IPSE berhenti merokok di kalangan siswa. Atas dasar temuan tersebut disarankan pada sekolah yang sederajat untuk mempertimbangkan penggunaan cognitive behavior therapy sebagai alternatif program pencegahan perilaku merokok di kalangan siswa.

Kata kunci: Cognitive behavior therapy, Perceived self efficacy, Siswa
SLTP, berhenti merokok.

Senin, 20 Juni 2011

Remaja

Remaja menurut Mappiare (1982, hal. 36) yaitu seseorang baik laki-laki maupun perempuan dengan rentang usia untuk remaja Indonesia antara 12 tahun sampai 21 tahun untuk wanita, dan 13 tahun sampai 22 atau 24 tahun untuk laki-laki. Pada masa remaja ini mulai timbul tanda menuju dewasa atau sudah akil balik.

Ciri-ciri pokok penting dalam masa ini dengan menunjukan pola-pola sikap, pola perasaan, pola berpikir, dan pola berperilaku seperti; stabilitas mulai timbul dan meningkat. Para remaja putri dan remaja laki-laki ini menunjukan adanya peningkatan kestabilan dalam aspek-aspek fisik dan psikis. Pertumbuhan jasmani yang sempurna bentuknya, dalam masa remaja akhir ini terjadi keseimbangan tubuh dan anggota badan. Demikian juga pergaulan dengan sesama jenis atau dengan lawan jenisnya, pemilihan minat-minatnya, pemilihan sekolah, jabatan, pakaian, dan soal sikap-pandang mereka terhadap sesuatu. Akibat yang positif dari keadaan ini akan menimbulkan para remaja akan dapat mengadakan penyesuaian-penyesuaian dalam banyak aspek kehidupannya dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.

Citra diri dan sikap pandang yang lebih realitas. Pada masa sebelumnya, remaja sangat sering memandang dirinya lebih tinggi ataupun lebih rendah dari keadaan yang sesungguhnya. Wajah yang sedang-sedang saja, misalnya, dipandangnya sebagai seperti bintang film. Sebaliknya, ada juga wajahnya yang cukup tampan dipandangnya jelek, demikian juga terhadap hal-hal yang lainnya. Kebanyakan yang terjadi pada masa remaja awal yaitu pandangan yang negatif seperti kurang, rendah, jelek dari keadaan yang sesungguhnya. Hal yang demikian itu merupakan refleksi dari rasa tidak puas mereka terhadap sesuatu yang dimilikinya. Tetapi dalam masa remaja akhir keadaan yang semacam itu telah berkurang, remaja telah mulai menilai dirinya sebagaimana adanya, menghargai miliknya, keluarganya, orang-orang lain seperti keadaan yang sesungguhnya. Akibat yang positif dari keadaan remaja akhir seperti ini adalah timbul perasaan puas, menjauhkan mereka dari rasa kecewa dan kekurangan. Perasaan puas itu merupakan prasarat penting untuk mencapai kebahagiaan bagi remaja.

Menghadapi masalahnya lebih matang. Masalah-masalah yang wajar dihadapi remaja masa ini relatif sama dengan masalah yang dihadapi pada masa remaja sebelumnya. Perbedaannya terletak pada cara mereka menghadapi masalah yang dimaksud. Kalau dalam masa remaja awal mereka menghadapinya dengan sikap bingung dan perilaku yang tidak efektif maka dalam masa remaja akhir mereka akan berusaha lebih matang. Adanya usaha-usaha pemecahan masalah lebih matang dan realistis itu merupakan produk dari kemampuan berpikir remaja akhir yang telah lebih sempurna dan ditunjang oleh sikap pandang yang lebih realistis. Akibat selanjutnya akan diperolehnya perasaan yang lebih tenang.

Perasaan menjadi lebih tenang. Pada pertengahan awal masa remaja, seringkali mereka masih menampakkan gejala-gejala storm dan stress, namun dalam proses lebih lanjut, beberapa remaja dengan cepat menunjukan adanya rasa tenang. Penting artinya bagi proses pendewasaan diri bagi remaja akhir ini adalah subjek model, orang dewasa yang dikaguminya, yang disenangi sifat-sifat dan perilakunya. Terhadap orang-orang dewasa seperti ini si remaja akan beridentifikasi tentang berbagai hal yang dikaguminya seperti; sikap, sifat, cara-cara berpakaian, cara-cara bergaul, terutama sekali cara-cara berpikir orang dewasa. proses semacam itu akan turut membentuk pribadi dewasa bagi remaja.Perlu ditegaskan bahwa ciri-ciri masa remaja yang dikemukakan di atas merupakan ciri-ciri remaja pada umumnya yang tidak mengalami persoalan yang serius. Peyimpangan dari hal-hal yang umum itu, sangat mungkin terjadi sebagai akibat dari berbagai pengaruh. Semakin besar kualitas dan itensitas  penyimpangan yang terjadi, maka semakin serius pula masalah yang dihadapi oleh remaja yang bersangkutan. Pengaruh-pengaruh dominan yang menimpa remaja dan dapat membelokkan ciri-ciri dari remaja yang dikemukakan diatas, diantaranya adalah situasi dan kondisi lingkungan keluarga, masyarakat, dan lingkungan kelompok teman-teman pergaulan remaja itu. Hal lain yang dapat menimbulkan masalah serius menimpa remaja adalah adanya pertentangan-pertentangan yang sering terjadi dalam penilaian diri, antara penilaian oleh dirinya sendiri dengan penilaian diri oleh orang lain disekitar lingkungannya.