Minggu, 19 Februari 2012

Bagaimana Mendeteksi Gejala Autis pada Anak

Anak perempuan itu menolak tatapan mata saya dan langsung melihat ke arah lain. Ekspresi mukanya datar dan mulutnya berkomat-kamit mengeluarkan kata-kata yang tidak beraturan. ”Ya Tuhan,”saya berdoa dalam hati saya,”Mengapa anak semanis ini harus mengalami autis?”

Bekerja sebagai seorang praktisi dibidang klinis anak, saya harus membiasakan diri menegakkan suatu diagnosa yang sebenarnya saya sendiri  merasa berat melakukannya. Oh ya, saya sangat senang ketika mengabarkan kepada orang tua bahwa anak mereka memiliki IQ sebesar 150. Hal yang berbeda terjadi saat saya harus menyampaikan kabar bahwa anak mereka mengalami autisme. Dipandang dari sudut profesionalitas, mungkin banyak seorang praktisi yang terlalu melibatkan perasaan dalam pemeriksaan terhadap pasien-pasiennya. Di sisi lain sebagai praktisi kita harus bertindak secara objektif dalam menyimpulkan permasalahan anak di tempat kita bekerja. Bagaimanapun, tidak mudah menghadapi reaksi orang tua yang terkejut, menangis, bahkan tidak mau menerima kondisi anaknya yang didiagnosa mengalami autis.
Saat ini gangguan autisme yang dikenal dengan nama Autistic Spectrum Disorder (ASD) telah merebak menjadi sebuah epidemi di banyak negara. Sebuah organisasi yang bergerak di bidang penanganan Autis di Amerika membuat pernyataan yang mengagetkan bahwa 1 dari 150 anak terdiagnosa autis. Ini adalah data yang fantastis sekaligus memprihatinkan semua pihak. Di Indonesia sendiri, data terakhir yang diperoleh adalah dari tahun 2004 yang mencatat sebanyak 475.000 anak didiagnosa mengalami autis.
Hampir semua orang mempertanyakan apa yang menjadi penyebab gangguan perkembangan yang menyebabkan seorang anak tidak mampu berinteraksi dengan orang-orang di sekelilingnya. Ia seolah-olah terisolasi dari dunia luar dan hidup dalam dunianya sendiri. Istilah ’autis’ sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti ’didalam diri sendiri’. Gangguan ini mulai dideteksi oleh Leo Kanner pada tahun 1943 dan sampai saat ini penelitian mengenai penyebab dan cara menanganinya masih terus berlanjut.
Misteri yang Belum Terpecahkan
”Bagaimana mungkin anak saya autis? Apa penyebabnya, bu? Apakah semua ini salah saya?” pertanyaan ini sangat sering dilontarkan orang tua kepada saya. Menenangkan orang tua yang mengalami shock merupakan kewajiban saya sebagai seorang profesional. ”Ibu tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. Sampai saat ini penyebab autis masih menjadi tanda tanya besar.” Bukannya bermaksud memberikan sekedar ’angin surga’ kepada orang tua namun pada faktanya memang sampai saat ini belum ada satu hasil penelitianpun yang secara tegas menyimpulkan penyebab tunggal dari gangguan yang mengerikan ini.
Diperkirakan salah satu penyebab autis adalah faktor genetik, hal ini terbukti dari lebih besarnya jumlah penyandang autis pria dibanding wanita. Selain itu, perkiraan lain mengatakan bahwa autis disebabkan oleh keracunan logam berat. Hal ini mungkin terjadi karena ibu makan sea food yang sudah tercemar logam berat atau melakukan tambal gigi yang mengandung amalgam. Seorang dokter yang mendalami bidang autis pernah mengemukakan dalam seminar bahwa sebaiknya saat mengandung ibu-ibu tidak menggunakan make up sama sekali. Hal ini adalah untuk menghindari kemungkinan terpaparnya janin dalam kandungan terhadap merkuri yang mungkin terdapat dalam kosmetik yang digunakan. Ada pula yang memperkirakan bahwa banyaknya jenis vaksinasi yang diterima oleh bayi menyebabkan masuknya merkuri dalam jumlah besar ke dalam tubuh anak pada usia terlalu dini. Hal ini disebabkan karena sebagian besar vaksin yang digunakan menggunakan thimerosal (etil merkuri) sebagai bahan pengawetnya. Akibatnya, untuk anak-anak yang rentan kemungkinan akan memperlihatkan gejala autis yang disebabkan karena keracunan logam berat.
Kenalilah Gejala Autis Sedini Mungkin!
Sangatlah penting bagi orang tua untuk mengenali gejala yang ada pada gangguan ini. You are your child’s first doctor. Karakteristik seorang anak yang mengalami autis ditandai dengan 3 hal. Pertama, anak tidak mampu berinteraksi dengan orang-orang di sekelilingnya. Ia cenderung menolak menatap mata lawan bicaranya dan memilih melihat ke arah lain saat diajak berbicara. Saat merasa senang atau sedih, ekspresi mukanya tetap datar dan tidak mengalami perubahan. Biasanya orang tua merasa frustasi karena anak mereka tidak bisa diajak bermain ci luk ba, menolak untuk dipeluk, dan hampir tidak pernah memulai pembicaraan dengan orang tuanya.
Kedua, anak mengalami keterlambatan bicara atau bahkan sama sekali tidak bisa berbicara. Batas usia yang diberikan para ahli untuk mentoleransi seorang anak mengucapkan kata pertamanya adalah 18 bulan. Pada perkembangannya di usia 2 tahun anak minimal dapat mengucapkan sebuah kalimat yang terdiri dari 2 kata, sesederhana apapun itu. Pada anak yang mengalami autis, sekalipun ia dapat berbicara, biasanya kata-katanya tidak jelas (sering dikenal dengan istilah bahasa planet) atau tidak sesuai dengan konteks pembicaraan.
Ketiga, anak tampak sering melakukan rutinitas yang berulang atau sangat menyukai benda tertentu secara berlebihan. Hellen (bukan nama sebenarnya), menjerit-jerit saat ibu tidak menghidangkan sarapan paginya menggunakan piring merah muda dengan pola bunga-bunga di sekeliling piringnya. Ia juga tidak mau makan saat posisi piring, garpu, dan sendok tidak tertata secara simetris seperti biasanya. Selain memiliki pola rutinitas yang sangat kaku, anak yang mengalami autis biasanya bermain secara aneh terus menerus. Kasus yang sering dijumpai adalah mereka senang sekali memutar roda mobil-mobilannya dalam waktu yang lama, berjam-jam melihat kipas angin yang berputar, atau menyusun mainannya dalam pola yang berulang. Ada pula anak yang sangat senang benda yang berwarna hijau dan terus menerus merengek agar ia dapat memegang sebuah stabilo hijau selama menjalani terapi.
Gejala yang paling mudah dikenali dari autisme adalah minimnya kontak mata anak terhadap lawan bicaranya. Gejala lain yang juga mudah dikenali adalah apabila anak mengalami keterlambatan bicara. Bagaimanapun, untuk gejala yang kedua ini, orang tua perlu berhati-hati. Tidak semua anak yang terlambat bicara pasti mengalami autis, namun terlambat bicara merupakan salah satu karakteristik autis.
Apa yang Harus Saya Lakukan?
Langkah pertama yang perlu ditempuh orang tua apabila mencurigai anaknya mengalami autis adalah dengan membawa anak tersebut pada ahli. Diagnosa autis dapat ditegakkan oleh seorang psikolog atau dokter melalui pemeriksaan yang terstandarisasi. Apabila anak mengalami autis, umumnya psikolog atau dokter akan menganjurkan orang tua untuk mengikutkan anak dalam terapi. Jenis dan jumlah jam terapi biasanya tergantung pada seberapa berat gangguan autis yang dialami anak. Umumnya jenis terapi yang perlu diikuti adalah terapi sensori integrasi, perilaku, dan wicara. Tidak sedikit pula anak yang perlu menjalani farmakoterapi, yaitu pemberian obat tertentu oleh dokter. Pastikan tempat terapi memiliki program dan sistem evaluasi yang baik untuk memantau kemajuan anak.
Selain terapi, anak yang mengalami autis juga perlu menjalani diet. Diet yang tepat akan ‘mempersiapkan’ tubuh anak menerima materi terapi. Tanpa diet, terapi yang dilakukan akan menjadi kurang efektif. Umumnya, diet yang harus dijalani adalah dengan menghindari makanan yang mengandung kasein dan gluten. Hal ini termasuk salah satu tugas terberat orang tua. Karena tidaklah mudah menahan anak mengkonsumsi makanan yang mengandung kasein seperti susu, mentega, es krim, coklat, dan yogurt. Jangankan anak-anak, orang dewasa saja sulit menahan dirinya untuk tidak mengkonsumsi coklat. Belum lagi makanan yang mengandung gluten yang umumnya terdapat dalam tepung terigu. Makanan seperti roti, biskuit, mi, makaroni, spagheti, dan segala sesuatu yang berasal dari terigu wajib dihindari. Bagaimanapun tidak semua anak yang terdiagnosa autis harus menghindari semua jenis makanan tersebut. Untuk mengetahui secara spesifik jenis makanan apa yang harus dihindari anak, dapat diadakan tes alergi.

Jumat, 17 Februari 2012

Peran Psikologi dalam Perang dan Militer

Amerika Serikat, Psikologi Zone – Ketika Amerika Serikat diminta untuk menanyakan faktor keberhasilan dalam perang abad ke-20 dan konflik abad ke-21, maka yang dicari adalah jawaban pada bidang-bidang seperti fisika, kimia dan teknologi informasi. Namun ada bidang keilmuan yang memiliki kontribusi dalam perang modern dan tidak terlihat, yaitu psikologi.

Menurut Janice H. Laurence, profesor perkembangan dewasa dan organisasi di Temple’s College of Education, bidang psikologi memiliki pengaruh dalam sebuah perang melalui berbagai cara. Sebaliknya, ia mengatakan, perang modern seharusnya memerlukan inovasi dalam bidang psikologi yang memiliki aplikasi jauh melampaui militer.
Laurence, yang baru saja pensiun dari Pentagon sebagai direktur penelitian dan analisis di Kantor Wakil Menteri Pertahanan, Personalia dan Kesiapan, telah mengumpulkan sebuah pengetahuan terbaru dari bidang psikologi militer dan menerbitkannya dalam buku berjudul The Oxford Handbook of Military Psychology (Januari, 2012), rilis Temple University (31/1).
Topik yang dibahas di buku pegangan ini mencakup bidang klinis, psikologi industri/organisasi, eksperimen, dan sosial. Kontributor dalam buku ini adalah para ahli internasional terkemuka dalam psikologi militer.
“Militer merupakan tempat penelitian mutakhir tentang kepemimpinan”, kata Laurence.
Penelitian menarik dalam sebuah kepemimpinan saat kelangsungan hidup dan kesejahteraan dipertaruhkan dalam sebuah perang. Psikologi militer sedang membangun pengetahuan yang dapat menginformasikan strategi mengembangkan pemimpin yang efektif.
Kondisi perang modern saat ini, memiliki prosedur evakuasi yang cepat dan telah membawa perbaikan dalam psikologi konseling dan klinis untuk mengatasinya.
“Kami melihat perkembangan menarik dalam pengobatan gangguan stres, cara terbaik menangani trauma dan bagaimana membangun ketahanan,” katanya.
Daerah lain yang menunjukkan hubungan penting antara militer dan psikologi adalah perekrutan, pelatihan, memotivasi, menjaga, mengelola, mengintegrasikan dan mempertahankan anggota militer. Bahkan aplikasinya dapat diterapkan dalam arena non-militer.
“Pengetahuan yang diperoleh dari psikologi militer meningkatkan kehidupan manusia dalam semua domain,” tutup Laurence. 

Selasa, 07 Februari 2012

Adab Bertetangga

Islam memerintahkan umatnya untuk bertetangga secara baik. Bahkan, saking seringnya Jibril mewasiatkan agar bertetangga dengan baik, Rasulullah pernah mengira tetangga termasuk ahli waris. Kata Rasulullah, seperti diriwayatkan oleh Aisyah, ''Jibril selalu mewasiatkan kepadaku tentang tetangga sampai aku menyangka bahwa ia akan mewarisinya.'' (HR Bukhari-Muslim).

Namun, ternyata waris atau warisan yang dimaksud Jibril adalah agar umat Islam selalu menjaga hubungan baik dengan sesama tetangga. Bertetangga dengan baik itu, termasuk menyebarkan salam ketika bertemu, menyapa, menanyakan kabarnya, menebar senyum, dan mengirimkan hadiah. Sabda Rasulullah SAW, ''Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak sayur maka perbanyaklah airnya dan bagikanlah kepada tetanggamu.'' (HR Muslim).

Lihatlah, betapa ringan ajaran Rasulullah, namun dampaknya sangat luar biasa bagi kerukunan dan keharmonisan kita dalam bermasyarakat. Untuk memberi hadiah tidak harus berupa bingkisan mahal, tapi cukup memberi sayur yang sehari-hari kita masak.

Untuk menjaga hubungan baik dengan tetangga, Rasulullah juga memerintahkan untuk saling menenggang perasaan masing-masing. ''Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir,'' kata Rasulullah, ''maka hendaknya ia tidak menyakiti tetangganya.'' (HR Bukhari).

Suatu kali, seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah tentang seorang wanita yang dikenal rajin melaksanakan shalat, puasa, dan zakat, tapi ia juga sering menyakiti tetangganya dengan lisannya. Rasulullah menegaskan, ''Pantasnya dia di dalam api neraka!''

Kemudian, sahabat itu bertanya lagi mengenai seorang wanita lain yang dikenal sedikit melaksanakan shalat dan puasa, namun sering berinfak dan tidak menyakiti tetangganya dengan lisannya. Jawab Rasulullah, ''Ia pantas masuk surga!'' (HR Ahmad).

Seorang wanita bersusah payah melaksanakan shalat wajib, bangun malam, menahan haus dan lapar, serta mengorbankan harta untuk berinfak, namun menjadi mubazir lantaran buruk dalam bertutur sapa dengan tetangganya. Rasulullah bersumpah terhadap orang yang berperilaku demikian, tiga kali, dengan sumpahnya, ''Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman
...!''

Sahabat bertanya, ''Siapa, ya Rasulullah?'' Beliau menjawab, ''Orang yang tetangganya tidak pernah merasa aman dari keburukan perilakunya.'' (HR Bukhari).

Suatu kali, Aisyah pernah bingung mengenai siapa di antara tentangganya yang harus diutamakan. Lalu, ia bertanya kepada Rasulullah, ''Ya Rasulullah, saya mempunyai dua orang tetangga, kepada siapakah aku harus memberikan hadiah?'' Beliau bersabda, ''Kepada yang paling dekat rumahnya.'' (HR Bukhari).

Rasulullah menjadikan akhlak kepada tetangga sebagai acuan penilaian kebaikan seseorang. Kata beliau, ''Sebaik-baik kawan di sisi Allah adalah yang paling baik (budi pekertinya) terhadap kawannya, sebaik-baik tetangga adalah yang paling baik kepada tetangganya.'' (HR Tirmidzi). (Didik Hariyanto)


sumber : Republika